www.suarakarya-online.com/news.html?id=303689
Hari ini kita dipertontonkan suatu pertunjukan yang sangat mengharukan. Bukan karena kemenangan Chelsea untuk kali pertama meraih gelar juara Liga Champion, tapi berkaitan dengan realitas negeri tercinta ini, yaitu kegagalan untuk bangkit. Telebih karena para pemuda di nusantara ini tertidur lelap, baik dalam arti peran maupun fisik.
Tepat
ahad 20 Mei dini hari, babak Final Liga Champion digelar. Setelah malam hari (baca:
malam minggu) pemuda pemudi berlalu lalang di jalanan, kongkow-kongkow di kafe ataupun
area nongkrong lainnya di pusat dan sudut kota. Mayoritas mereka melanjutkan
aktifitas untuk menonton bola, begadang semalaman sampai Subuh.
Tak ada
yang ingat bahwa hari ahad bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, mungkin
ada yang ingat tapi tak peduli. Lebih banyak yang ingat bahwa 20 Mei bertepatan
dengan Final Liga Champion. Tua, muda, baik laki-laki maupun wanita banyak yang
serupa terjebak akan kealfaan terhadap momen bersejarah ini.
Tengoklah
pada pagi hari, fisik mereka pun terlelap tidur seharian, mengobati perih mata
kala begadang. Kian lupa bahwa hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional.
Lengkaplah sudah penderitaan hati bunda pertiwi, tanah air Indonesia. Disaat
realitas sosial yang tak kunjung menemukan kesejahteraan, kini diperparah oleh
tabiat lemah para pemuda yang notabene berlabel agent of change.
Bukan
salah Liga Champion, bukan pula melarang untuk menonton, tapi pertanyaan besar
yang mesti disampaikan adalah apa yang terjadi dengan bangsa ini, apa yang
terjadi dengan para pemuda Indonesia. Telah lebih dari 100 tahun (baca: 104
tahun) ditandai sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tidak jua ada kebangkitan
yang terasa, khususnya pasca keruntuhan rezim Orba.
Sudah hal
yang lumrah bahwa kebangkitan suatu bangsa dibawa oleh tangan-tangan pemuda.
Mungkinkah mereka sudah jengah karena kondisi sosial politik yang amburadul,
tak ada integritas penguasa, tak muncul Satrio
Piningit yang ditunggu-tunggu. Ataukah karena mereka tak sadar apa yang
mereka lihat bagai air menetes yang lambat laun akan menghancurkan batu.
Lantas,
bagaimana menjawab pertanyaan pemuda kelahiran zaman pergerakan nasional,
bagaimana menjawab pertanyaan founding father republik ini tentang realitas
negara yang mereka perjuangkan. Pastinya, hanya sedikit yang merasa malu. Tak
usah jauh-jauh kita mengulas kasus korupsi yang terbengkalai, penegakan hukum
yang seadanya, aksi kekerasan yang mewabah, lihatlah dulu wajah anak negeri.
Bisakah
ini dipersalahkan pada pemuda, atau penguasa, bahkan mungkin orang tua dan guru
yang dianggap tak berhasil mendidik keturunan dan murid-muridnya untuk peduli
masa depan bangsa. Tidak seperti itu, dikotomi tua-muda, rakyat-penguasa hanya
menjadi lelucon di siang hari karena belum ada bukti kebangkitan negeri ini
apabila peran itu dilimpahkan pada satu bagian rakyat. Malahan terjebak dalam
kebangrutan menyeluruh di segala aspek.
Walaupun
masih banyak penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional di antero negeri,
terlihat semua -tanpa melupakan apresiasi tentunya- beralaskan seremoni tahunan
tak berbekas. Akan sampai kapan semua
ini berlangsung. Kini sudah saatnya berbenah menjauhi mitos kebangrutan
nasional membalikkan keadaan untuk menjadi kebangkitan nasional.
Menurut
hemat penulis 4 tahun melebihi anggapan bahwa pahlawan muncul setiap seratus
tahun sudah tak bisa ditolerir. Kolaborasi tua muda akan memberi hasil maksimal
apabila bisa dilanggengkan dan terimplementasi, diantaranya:
Pertama, pemerintah bagaimanapun juga sebagai “penjaga negara”
berperan besar dalam mengajak rakyatnya untuk bangkit. Momentum hari ini bisa
dijadikan renungan bersama nasional demi menatap masa depan lebih baik. Fakta
di lapangan, agenda besar apa yang di buat pemerintah, lagi-lagi seremoni.
Ingat Jepang seketika setelah luluh lantah akibat dijatuhkannya bom oleh sekutu
di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki, mereka tidak lemas, tapi semakin
terlecut. Pemerintah mengumpulkan para pemuda untuk menanyakan dan mengajak
bangkit bersama dengan komitmen dan tindakan nyata kerja keras. Lihat hasil
yang diperoleh kini.
Kedua, pemuda saat ini memang kurang melek sejarah, apabila
seperti itu ambillah pelajaran perjuangan Chelsea yang bangkit dari
ketertinggalan skor dan membalik keadaan. Karena para pemain menyadari tujuan
mereka adalah kemenangan. Tidakkah pemuda ingin merasakan kehidupan yang lebih
baik bagi diri sendiri maupun rakyat disekitarnya. Pemuda harus menemukan
ghiroh zaman, dimana saat ini membutuhkan persatuan dan kesatuan antar elemen
vertikal maupun horizontal.
Ulangi kembali
sejarah persatuan pemuda untuk kebangkitan nasional. Sama seperti pemerintah,
pada hari ini tak ditemukan agenda nasional persatuan pemuda membentuk konsepsi
masa depan Indonesia, padahal sejak 2008 Sri
Sultan Hamengkubuwono X telah menantang pemuda untuk mendeklarasikan arah
negeri ini seperti Sumpah Pemuda 1928
dahulu. Mari bangkit bukan bangkrut, tapi bila ingin bangkrut lanjutkan saja tidur lagi seperti kata Alm. Mbah Surip.
Cibinong, 20 Mei 2012
Eko Wardaya
Wakil Ketua Umum KAMMI Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar