Minggu, 05 Februari 2012

Pemerintahan Tak Beretika

Dimuat di harian Lampung Post 4 dan 6 Februari 2012 

Gonjang-ganjing judgemen berbagai element rakyat terhadap kinerja pemerintah bukan semata angin lalu. Tapi sebuah bahan introspeksi atas tindak tanduk pemerintah dalam menjalankan amanat rakyat yang telah diberikan dalam pesta Demokrasi empat tahunan. Pesta yang katanya meriah karena sangat mahal. Kepemimpinan incumbent seharusnya mematangkan konsepsi pemerintahan untuk mencapai visi yang telah dibuat sebelumnya bukan sebaliknya.

Jika prinsip demokrasi adalah dari oleh dan untuk rakyat, kini mengapa seakan-akan pemerintah mengabaikan dan tak mendengar rakyat. Bahkan saat ini ketidakpercayaan publik sudah masuk dalam tataran praksis di lapangan. Tindakan protes nyata, tak lagi dengan suara tapi tangan yang berkata. Sampai-sampai rakyat harus turun langsung membakar kantor Bupati seperti yang dilakukan di Bima dan buruh Bekasi memblokade jalan tol dengan pasukan lebih dari 10.000 orang.

Agaknya rakyat yang sudah kehilangan ekspektasi terhadap wakilnya di DPR tak punya jalan lain kecuali harus melakukan demokrasi langsung seperti pada penerapan di Yunani Kuno dahulu. Langsung berbicara kepada pemimpin negara.

Harapan akan terwujudnya good governance tapi malahan terjebak dalam sebuah penyelengaraan tak beretika, padahal etika pemerintah adalah dasar yang dibutuhkan dalam mewujudkan harapan tersebut.

Etika Pemerintahan
Good Governance mengandung dua arti, pertama menjunjung tinggi nilai luhur yang hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berhubungan dengan nilai-nilai kepemimpinan. Kedua, pencapaian visi dan misi secara efektif dan efisien.

Sedangkan etika pemerintahan selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang bersinggungan dengan hak-hak warga negara. Nilai-nilai keutamaan tersebut diantaranya penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM, keadilan dan kepantasan terhadap orang lain, kekuatan moralitas, ketabahan, serta berani, kesederhanaan dan pengendalian diri,  termasuk nilai agama dan sosial budaya.  

Bagaiman Pemerintahan Saat Ini?
Soe Hok Gie pada masa orde baru pernah mengkritik pemerintahan Soeharto dengan sebutan Pemerintahan Yang Tak Menarik (16/7/1969), salah satunya ia menggambarkan sosok fisik Soeharto yang tak menarik dan tak memiliki kemampuan komunikasi massa layaknya seorang pemimpin, kala itu Soekarno seakan jadi pembandingnya. Soe menyebutkan dengan visi pemerintahan yang semakin besar seharunya pemerintah berusaha lebih keras dalam mengajak semua elemen negara untuk mewujudkannya. Dibutuhkan pemimpin yang mampu mengkonversi komunikasi menjadi penggugah hati rakyat untuk bergerak bersama membangun cita.

Kini hal serupa terjadi, semenjak era reformasi bergulir belum ada pemimpin yang seperti itu, pun juga SBY. Yang ada SBY banyak mengeluh di depan kamera media atau di tulisan-tulisan wartawan. Bongkar pasang kabinet mungkin dinilai untuk mendongkrak kinerja pemerintah tapi SBY lupa, pemerintah tak bisa berjalan sendiri tanpa rakyat tapi rakyat bisa.

Boleh jadi keluhan-keluhan SBY merupakan cara menarik simpati rakyat agar rakyat tergerak hatinya sehingga mau bergerak bersama membangun Indonesia. Sayangnya rakyat sudah muak dengan berbagai hal pencitraan yang sering dilakukan presiden kita. Jurus jitu pencitraan SBY di mata rakyat kian hari kian kandas.

Pelanggaran HAM masih menyisakkan berbagai kasus dari kasus lampau seperti tragedi 1998 sampai kasus HAM anyar seperti Mesuji. Keadilan ternodai dengan maraknya diskriminasi rakyat dalam hal pendidikan maupun agama. Coba kita tengok pendidikan rakyat miskin yang seadanya sangat jauh berbeda dengan rakyat berkemampuan. Dan sulitnya jemaat GKI Yasmin beribadah sehingga terlunta-lunta sampai saat ini.

Bahkan baru-baru ini disaat rakyat dihebohkan pengerukan rupiah oleh anggota DPR melalui proyek yang ada, ternyata diam-diam pemerintah juga bermain di lahannya sendiri. Ditemukan nilai fantastis untuk sebuah tempat parkir sebesar 12,3 miliar. Empat kali lipat jumlah yang dikeluarkan untuk tempat parkir DPR.  Pertunjukan itu dengan jelas memperlihatkan kepada kita tak adanya kesederhanaan dan pengendalian diri pemerintah mengelola anggarannya, bukannya berhemat untuk rakyat.

Masih banyak lagi fakta miris perilaku pemerintahan yang jauh dari nilai etika seperti telah penulis uraikan di muka. Menyedihkan, apabila nilai-nilai keutamaan etika pemerintahan sudah dilanggar, maka pantaslah pemerintahan kali ini di stempel cap “Pemerintahan Tak Beretika”. Tak usahlah jauh-jauh bermimpi mewujudkan good governance.

Harusnya pemimpin terpilih berusaha membayar hutang pesta Demokrasi yang teramat mahal itu dengan bukti janji-janjinya masa kampanye. Bukan membayar hutang pada partainya atau koalisi pendukung pemerintah.



Eko Wardaya
Wakil Ketua KAMMI Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar