Rabu, 28 Desember 2011

Imbas Buruk Pejabat Lamban Kota Bogor


Pada hari Sabtu (24/12) sebuah tajuk surat kabar nasional berjudul Kedamaian Kian Hilang  memaparkan beberapa permasalahan berujung kekerasan yang terjadi di negeri kita pada tahun 2011. Namun kekerasan yang dimaksud bukan hanya pada tataran fisik melainkan juga kekerasan sikap elit penguasa di negeri ini.

Sangat mengejutkan bagi saya, sengketa perizinan gereja GKI Yasmin yang belum kelar disebutkan sebagai akibat dari kekerasan pejabat pemerintah Kota Bogor, dalam hal ini Diani Budiarto sebagai Walikota Bogor. Diani dianggap keras (baca: arogan) karena melalaikan putusan hukum Mahkamah Agung dengan tetap melarang jemaat GKI Yasmin beribadah di gereja mereka.

Lagi-lagi Kota Bogor tercoreng di penghujung tahun 2011 ini. Disaat berbagai permasalahan belum terselesaikan, sekarang Kota Bogor dianggap menjadi penyumbang hilangnya kedamaian di negeri ini. Padahal hal itu adalah ulah pejabat Kota Bogor yang bertele-tele dalam meyelesaikan kasus GKI Yasmin. Lambannya pejabat dalam meyelesaikan problematika rakyat berujung pada buruknya penilaian terhadap Kota Bogor.

Bagaimana Pak Diani beserta jajarannya? Silakan menjawab dengan bukti penyelesaian, bukan sekedar pembicaraan di media. Karena Bogor adalah Kota Beriman yang menjunjung tinggi kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan UUD 1945.

Eko Wardaya

Pengurus Daerah KAMMI Bogor

Selasa, 27 Desember 2011

Pekerjaan dan Impian


Hari ini adalah era dimana sarjana pengangguran tumbuh subur di Indonesia. Bak jamur setiap angkatan kelulusan menyisakan entitas yang terkatung-katung tak mendapat pekerjaan.

Tak heran banyak muncul praktek KKN di banyak instansi negeri maupun swasta untuk memasukkan koleganya sebagai pegawai di tempat tersebut. Kecurangan membuat persaingan tak sehat di dunia kerja, namun hal itu agaknya sudah menjadi lumrah.

Fenomena lain, banyak mindset angkatan baru (baca: lulusan baru) “asal kerja, apa saja boleh”. Alhasil mereka bekerja tak sesuai jurusan yang diambil sewaktu kuliah. Coba kita tengok di bank, tak jarang lulusan fakultas pertanian bekerja disana atau kita lihat di lembaga-lembaga politik, ada saja lulusan fakultas MIPA bertebaran disana. Namun pertanyaanya apakah mereka semua (baca: yang bekerja tak sesuai jurusan) bermindset demikian.

Tidak semua, justru ada sebagian dari mereka memilih dengan sengaja bekerja di tempat tersebut. Apa sebabnya? Tak lain karena mimpi hidup yang mereka punya.

Sebelum memilih jurusan semasa kuliah, kita harus sudah mengetahui minat dan bakat yang bersemayam dalam diri pribadi. Apa daya hal tersebut tidak dapat terjadi pada semua siswa SMA. Sehingga masa-masa kuliah menjadi ajang pencarian jati diri dan perumusan mimpi hidup yang “sesungguhnya”

Ketika mereka lulus, yang dikejar adalah bagaimana cara meraih mimpi. Entah mimpi untuk melanjutkan S2 atau menjadi “sesuatu” yang tak sesuai jurusan semasa kuliah, seperti diatas mungkin lulusan MIPA tersebut bercita-cita menjadi politisi.


Eko Wardaya

Minggu, 25 Desember 2011

Aparat Harus Aktif Bukan Reaktif


Malam hari agaknya menjadi waktu yang menegangkan untuk para wanita atau bahkan menakutkan. Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2011 ini sudah tiga kali terjadi pemerkosaan di dalam angkot yang kesemuanya terjadi pada malam hari.

Bermula pada bulan Agustus, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara bernama Livia dibunuh setelah sebelumnya diperkosa dalam angkot Mikrolet 24 rute Slipi-Binus-Kebon Jeruk yang dinaikinya, selanjutnya pada bulan September seorang Karyawati berinisial SRS bernasib serupa, ia dipaksa melayani nafsu bejat dua sopir angkot tembak D-02 jurusan Lebak Bulus-Pondok Labu. Tak berselang lama, pada bulan Desember ini publik dihebohkan dengan munculnya kembali berita pemerkosaan dalam angkot. Kali ini menimpa R yang saat itu hendak pergi ke Pasar Kemiri menggunakan angkot M-26 jurusan Bekasi-Kampung Melayu.

Tren Kejahatan vs Aparat Reaktif
Tiga kejadian diatas cukup menjadi “lampu merah” bagi para wanita yang akan keluar di malam hari agar senantiasa waspada dan berhati-hati. Banyak tips-tips yang diberikan oleh Polda Metro Jaya, pengamat Kriminologi dan korban pemerkosaan itu sendiri. Namun bagaimana dengan tindakan aparat yang dalam hal ini (baca: tindak kriminal) merupakan porsi aparat kepolisisan.

Sebelumnya kita patut mengapresiasi kinerja aparat kepolisian. Setelah mereka mendapati laporan tentang adanya kasus pemerkosaan, tindakan real dengan sigap dilakukan. Razia sopir angkot tembak, kelengkapan izin mengemudi dan mobil angkot, serta kaca hitam mobil angkot. Bahkan didukung oleh Dinas Perhubungan dengan melakukan penertiban sopir angkot tembak melalui diwajibkannya penggunaan seragam dan kepemilikan tanda pengenal sopir.

Bagaimana hasilnya? Aparat kepolisian seperti keledai yang masuk lubang untuk kedua kalinya, belum selesai kasus perkosaan dengan korban mahasiswi bernama Livia, muncul lagi kasus serupa. Tak hanya masuk ke lubang untuk kedua kali, bahkan tiga kali. Seperti telah dikemukakan di muka, lagi-lagi hal biadab itu terulang.

Bila penulis cermati lebih dalam, justru tindak kriminal (tidak hanya perkosaan) di dalam angkot telah dan terus menjadi tren bagi para penjahat belakangan ini. Mereka terinspirasi oleh tindakan aparat kepolisian yang terbilang malas. Padahal apabila aparat kepolosian siaga 24 jam mungkin akan menciutkan nyali mereka. Jadi, tak heran apabila kasus serupa berulang untuk kali ketiga dan berbeda lokasi.

Tindakan aparat kepolisian memperlihatkan kepada kita bahwa mereka hanya melakukan aksi-aksi reaktif saja selama ini. Pencegahan-pencegahan yang dilakukan bersifat normatif, sesaat dan sektoral, belum ada rencana strategi untuk antisipasi jangka panjang.

Keadaan seperti ini memungkinkan adanya phobia berkegiatan di malam hari bagi seluruh lapisan masyarakat (tidak hanya kaum hawa) karena negara sudah tidak aman dan keselamatan semakin terancam. Sudah saatnya aparat kepolisian aktif bukan reaktif. Agar masyarakat dapat hidup aman dan tenteram, serta agar tak ada Livia-Livia lain di hari esok.


Eko Wardaya
Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bogor

Sabtu, 24 Desember 2011

Membumikan Kembali Budaya Bangsa: Gotong Royong


Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni masyarakat majemuk dengan 1.128 suku bangsa. Jumlah penduduk yang mencapai 227.556.363 orang membuat Indonesia bertengger pada rangking ketiga negara berpenduduk terbesar di dunia.

Kemajemukan bangsa ternyata menjadi buah simalakama bagi negara, karena tak kuasa memeratakan pembangunan di daerah. Tak heran kerapkali muncul gerakan separatis untuk memisahkan diri dari kesatuan Republik ini. Sebut saja, PRRI/Permesta, GAM, dan OPM. Masih terekam juga dalam sejarah kita lepasnya Timor Timur pada tahun 1999 . Itu semua adalah bentuk ketidakpuasan rakyat atas tertinggalnya daerah mereka dari segala sisi kehidupan.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar kita pasti pernah mendengar istilah gotong royong. Tepatnya dibekali pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Gotong royong adalah adalah istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didamba bersama. Menurut M Nasroen gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia. Dalam pranata lain disebutkan gotong royong merupakan budaya bangsa yang tak dipunyai oleh bangsa lain sehingga bangsa Indonesia dikenal unik dan penuh toleran antar sesama manusia.

Pasca kemerdekaan nampaknya budaya gotong royong hanya memenuhi buku-buku dan ruang kelas sebagai romantika masa lalu bangsa. Serta dipakai sebagai merk untuk menarik minat Turis menjajaki negara kepulauan ini. Tak ada implementasi nasional seperti ketika bangsa Indonesia gotong royong melawan penjajah sampai Indonesia merdeka. Apalagi sekarang budaya gotong royong telah mengkerdil menjadi budaya daerah, dalam semangat otonomi berlebihan masing-masing daerah hanya berkutat membangun daerah masing-masing.

Plato mengungkapkan bahwa negara (kota: polis) yang baik terwujud dari harmonisasi orang-orang yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini senada dengan budaya bangsa kita (gotong royong). Maka disinilah peran pemerintah sangat vital untuk kembali membumikan budaya bangsa yang hilang ini. Agar kembali menjadi ikon bangsa dan mendukung suksesi pembangunan nasional yang merata sehingga terwujudlah negara yang baik.

Untuk membumikan kembali budaya gotong royong, tak cukup pemerintah hanya membuat iklan di media informasi ataupun di jalan-jalan. Apabila kita belajar dari keberhasilan Soekarno, adalah menjadi tugas pemimpin negara untuk melakukan komunikasi massa dalam memobilisasi mereka demi mewujudkan cita-cita bersama. Karena tak akan ada hasilnya segala program pemerintah tanpa ada sinergi rakyat dan penguasa.

Wujud negara yang baik digambarkan oleh Rousseau sebagai sebuah masyarakat politik yang didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara rakyat dan penguasa. “Ringan sama dipikul, Berat sama dijinjing” begitu kata peribahasa kita.


Eko Wardaya
Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bogor



Kamis, 22 Desember 2011

Belum Terlambatkan Bu?

Aku tak tahu, aku tak mengerti
Harus apa dan bagaimana
Aku terpejam, aku terjerambab
Oleh emosi jiwa dalam gelapnya hati

Menghilangkan kesadaran sekian lama
Menghilangkan kenikmatan mempunyai keluarga
Tak ingatkan kisah klasik penuh ceria
Suasana keluarga berbagi rasa

Melihat kawan berbunga-bunga
Menyambut datangnya ibunda tercinta
Memberi kecupan manis dan sayang
Pelukan manja ingin di semayamkan

Apa gerangan yang ia rasa
Ku jadi mendambanya
Sangat ingin mencoba dan merasakannya
Kapan tapi ku tak tahu

Ku tak tahu bukan karena tak bisa
Mungkin karena tak biasa
Atau karena matinya rasa
Tumpulnya cinta di keluarga

Ku teteskan air mata seketika
Luluh hatiku melihat memori keindahan dahulu
Membuka kembali potret perjuangan dia
Ibunda tercinta

Masa kecilku nampak bahagia
Selalu di manja dan di bangga-banggakan
Olehnya yang kini ku elakkan
Ibunda tersayang

Ku digendongnya, ku dibelainya
Saat terjatuh, dia membangunkanku
Saat ku menangis, dia memelukku
Ada disaat aku butuhkan, selalu setiap waktu

Namun ku bak Malin Kundang
Tak menurut pada ibunda
Tak jarang memaki di mukanya
Bahkan membuatnaya berlinang air mata

Tak hanya sekali dua kali ku tak menurutinya
Membuat kesal karena kenakalan diriku
Membuat cemas karena tak menemukan hadirku di rumah
Membuat marah karena raporku merah

Kian waktu kian sendu
Cerita masa lalu tak lagi berulang
Indah mawar itu tinggal kenangan
Bukan karena ibuku

Karena keangkuhanku
Karena tak mengertinya diriku
Akan kekhawatiran dirinya
Akan pengharapan atas diriku

Sadarku oleh waktu
Ku tertampar bayangan indah sebuah harmoni
Keluarga bahagia, senada dan seirama
Dalam rumah, surga kasih sayang

Beranjakku pergi berlari
Melawan tangis melewati duri
Menendang kerikil hati
Membersihkan jiwa yang kusam

Yang ibuku butuhkan bukan bunga ditangan
Bukan kado yang mahal
Tetapi senyuman berperasaan
Ciuman kerinduan

Ibu, anakmu ingin kembali
Seperti kala ku tak mengerti arti suara
Agar  kau kembali selalu disampingku
Menemaniku bermain, mengajariku berjalan

Ibu, maafkan aku
Dengan segala khilaf dan kealphaanku
Akan manis sebuah lingkaran cinta kita
Ternodai bakti yang tak pernah ada

Belum terlambatkan bu?
Aku tak ingin menyesal
Ketika tak mampu lagi ku melihatmu
Maka kini ku beranikan diri

Ibu, kasih ini bukan hari ini saja
Cinta ini selamanya, sampai ku menutup mata
Kasihku untukmu tak akan sirna oleh waktu
Belum terlambatkan bu?

Selamat Hari Ibu....


 Eko Wardaya