Kamis, 22 Desember 2011

Cerewet adalah Kasih Ibu

“Begini salah, begitu salah, maunya bagaimana?” Ini adalah salah satu ungkapan rasa kesal kebanyakan seorang anak terhadap ibunya. Ada yang dengan langsung mengucapkan di depan ibunya, ada juga yang mengumpat dibelakang.

Saya rasa semua anak pernah mengalami rasa seperti diatas, dengan berbagai ungkapan ia mengumpat ibu yang telah membesarkannya.

Sembilan bulan adalah waktu yang dibutuhkan seorang ibu mengandung sebelum melahirkan anaknya ke dunia ini. Sembilan bulan pula waktu yang memberatkan bagi seorang ibu, karena ia harus merelakan berbagai hal untuk tidak dilakukan atau dilakukan dengan tidak mengenakkan.

Tidak boleh makan sembarangan, tidur harus hati-hati, kerja tidak boleh terlalu lelah, dan banyak hal lain lagi yang membatasi sang calon ibu apalagi jika kandungannya sudah memasuki umur tua. Namun ketika kita bertanya apakah ia merasa kesal kepada anak yang dikandungnya? Apakah ia sering mengumpat dan mengekspresikan kekesalannya karena banyak aktivitasnya yang terbatasi?

Jawabannya tidak, tidak ada seorang ibupun yang akan menjawab demikian, sekalipun anak yang dikandung adalah hasil “kecelakaan”

Coba kita lihat calon ibu yang sedang mengandung, apa yang mereka lakukan. Tak lain dan tak bukan adalah berusaha menjaga kandungannya agar lahir sehat. Mengkonsumsi vitamin dan makanan bergizi, berolahraga, sampai memperdengarkan alunan lagu kepada sang calon bayi. Ia tidak mengumpat sang bayi malahan memberi kata-kata positif.

Setiap wanita yang sedang mengandung akan berbuat yang terbaik demi kelahiran sang buah hati yang diharapkan kelak menjadi “seseorang”. Pun begitu ketika telah lahir, sang ibu tetap komitmen dengan cita-citanya. Ia akan terus memberikan yang terbaik sesuai kemampuan yang ia miliki.

Maka dalam setiap langkah hidup sang anak doa ibu akan selalu mneyertai, sehingga ia akan memperhatikan anaknya. Namun perhatiannya kadang disalahartikan kebanyakan anak. Mereka merasa risih apabila sang ibu banyak nasihat dan banyak komentar akan kehidupan dunia mereka. Mereka merasa tak bebas, merasa dikekang, yang kemudian pada akhirnya sang anak mengeluarkan ungkapan-ungkapan tak sedap seperti diatas.

Banyak anak yang menilai ibunya cerewet, sampai-sampai tak jarang perdebatan berujung hubungan tak harmonis ibu dan anak terjadi. Sampai sang ibu tak bisa menahan luka dalam hatin dan menangis di saat sang anak tak melihat.

Apakah tak kita sadari bahwa cerewet adalah fitrah seorang wanita, bahwa cerewet menandakan rasa peduli san perhatian yang sangat besar, bahwa cerewet adalah ungkapan kekhawatiran pada kita sebagai anaknya.

Maka bagi semua anak yang masih memiliki Ibu sampai hari ini, cobalah sesekali kita menyelami romantika perjalanan ibu kita saat mengandung sehingga dapat kita tahu bagaimana perjuangan dan harapannya akan kehadiran kita, cobalah sesekali kita menikmati cerewetnya ibu kita agar kita dapat mengetahui apa yang menurut ia terbaik untuk kita.

Karena sesungguhnya sampai kapanpun kita tidak akan dapat membalas jasanya yang telah mengantarkan kita dengan selamat berdiri di bumi ini sampai bisa berjalan dan berlari.

Sebelum terjadi penyesalan di hari kelak ketika akan datang ajal menjemputnya, mulailah dari sekarang. Karena suatu saat kita akan merindukan cerewetnya menghiasi kehidupan kita. Dan saya yakin tangis akan menyertai rasa kehilangna kita kelak.

Tanyakan saja kepada mereka yang sudah kehilangan ibunda tersayang, apa gerangan yang ia rasakan. Kini dengan membayangkannya saja kita dapat menangis, apalagi bila hari itu tiba.

“Ibu mafkan aku yang tak bisa memahami arti bibirmu, maafkan aku yang selalu mengumpatmu, maafkan aku yang membuatkan luka di hatimu. Ibu, aku tak bisa banyak berkata, mungkin karena keangkuhanku. Semoga pelukan kasih sayang ini dapat menjadi pesan terindah untukmu.”

Kasih Ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi Tak harap kembali
Bagai sang Surya menemani dunia


Eko Wardaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar