Sabtu, 24 Desember 2011

Membumikan Kembali Budaya Bangsa: Gotong Royong


Indonesia adalah negara kepulauan yang dihuni masyarakat majemuk dengan 1.128 suku bangsa. Jumlah penduduk yang mencapai 227.556.363 orang membuat Indonesia bertengger pada rangking ketiga negara berpenduduk terbesar di dunia.

Kemajemukan bangsa ternyata menjadi buah simalakama bagi negara, karena tak kuasa memeratakan pembangunan di daerah. Tak heran kerapkali muncul gerakan separatis untuk memisahkan diri dari kesatuan Republik ini. Sebut saja, PRRI/Permesta, GAM, dan OPM. Masih terekam juga dalam sejarah kita lepasnya Timor Timur pada tahun 1999 . Itu semua adalah bentuk ketidakpuasan rakyat atas tertinggalnya daerah mereka dari segala sisi kehidupan.

Saat duduk di bangku Sekolah Dasar kita pasti pernah mendengar istilah gotong royong. Tepatnya dibekali pada mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Gotong royong adalah adalah istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didamba bersama. Menurut M Nasroen gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia. Dalam pranata lain disebutkan gotong royong merupakan budaya bangsa yang tak dipunyai oleh bangsa lain sehingga bangsa Indonesia dikenal unik dan penuh toleran antar sesama manusia.

Pasca kemerdekaan nampaknya budaya gotong royong hanya memenuhi buku-buku dan ruang kelas sebagai romantika masa lalu bangsa. Serta dipakai sebagai merk untuk menarik minat Turis menjajaki negara kepulauan ini. Tak ada implementasi nasional seperti ketika bangsa Indonesia gotong royong melawan penjajah sampai Indonesia merdeka. Apalagi sekarang budaya gotong royong telah mengkerdil menjadi budaya daerah, dalam semangat otonomi berlebihan masing-masing daerah hanya berkutat membangun daerah masing-masing.

Plato mengungkapkan bahwa negara (kota: polis) yang baik terwujud dari harmonisasi orang-orang yang saling membutuhkan satu sama lain. Hal ini senada dengan budaya bangsa kita (gotong royong). Maka disinilah peran pemerintah sangat vital untuk kembali membumikan budaya bangsa yang hilang ini. Agar kembali menjadi ikon bangsa dan mendukung suksesi pembangunan nasional yang merata sehingga terwujudlah negara yang baik.

Untuk membumikan kembali budaya gotong royong, tak cukup pemerintah hanya membuat iklan di media informasi ataupun di jalan-jalan. Apabila kita belajar dari keberhasilan Soekarno, adalah menjadi tugas pemimpin negara untuk melakukan komunikasi massa dalam memobilisasi mereka demi mewujudkan cita-cita bersama. Karena tak akan ada hasilnya segala program pemerintah tanpa ada sinergi rakyat dan penguasa.

Wujud negara yang baik digambarkan oleh Rousseau sebagai sebuah masyarakat politik yang didalamnya terdapat hubungan timbal balik antara rakyat dan penguasa. “Ringan sama dipikul, Berat sama dijinjing” begitu kata peribahasa kita.


Eko Wardaya
Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bogor



Tidak ada komentar:

Posting Komentar