Minggu, 25 Desember 2011

Aparat Harus Aktif Bukan Reaktif


Malam hari agaknya menjadi waktu yang menegangkan untuk para wanita atau bahkan menakutkan. Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2011 ini sudah tiga kali terjadi pemerkosaan di dalam angkot yang kesemuanya terjadi pada malam hari.

Bermula pada bulan Agustus, seorang mahasiswi Universitas Bina Nusantara bernama Livia dibunuh setelah sebelumnya diperkosa dalam angkot Mikrolet 24 rute Slipi-Binus-Kebon Jeruk yang dinaikinya, selanjutnya pada bulan September seorang Karyawati berinisial SRS bernasib serupa, ia dipaksa melayani nafsu bejat dua sopir angkot tembak D-02 jurusan Lebak Bulus-Pondok Labu. Tak berselang lama, pada bulan Desember ini publik dihebohkan dengan munculnya kembali berita pemerkosaan dalam angkot. Kali ini menimpa R yang saat itu hendak pergi ke Pasar Kemiri menggunakan angkot M-26 jurusan Bekasi-Kampung Melayu.

Tren Kejahatan vs Aparat Reaktif
Tiga kejadian diatas cukup menjadi “lampu merah” bagi para wanita yang akan keluar di malam hari agar senantiasa waspada dan berhati-hati. Banyak tips-tips yang diberikan oleh Polda Metro Jaya, pengamat Kriminologi dan korban pemerkosaan itu sendiri. Namun bagaimana dengan tindakan aparat yang dalam hal ini (baca: tindak kriminal) merupakan porsi aparat kepolisisan.

Sebelumnya kita patut mengapresiasi kinerja aparat kepolisian. Setelah mereka mendapati laporan tentang adanya kasus pemerkosaan, tindakan real dengan sigap dilakukan. Razia sopir angkot tembak, kelengkapan izin mengemudi dan mobil angkot, serta kaca hitam mobil angkot. Bahkan didukung oleh Dinas Perhubungan dengan melakukan penertiban sopir angkot tembak melalui diwajibkannya penggunaan seragam dan kepemilikan tanda pengenal sopir.

Bagaimana hasilnya? Aparat kepolisian seperti keledai yang masuk lubang untuk kedua kalinya, belum selesai kasus perkosaan dengan korban mahasiswi bernama Livia, muncul lagi kasus serupa. Tak hanya masuk ke lubang untuk kedua kali, bahkan tiga kali. Seperti telah dikemukakan di muka, lagi-lagi hal biadab itu terulang.

Bila penulis cermati lebih dalam, justru tindak kriminal (tidak hanya perkosaan) di dalam angkot telah dan terus menjadi tren bagi para penjahat belakangan ini. Mereka terinspirasi oleh tindakan aparat kepolisian yang terbilang malas. Padahal apabila aparat kepolosian siaga 24 jam mungkin akan menciutkan nyali mereka. Jadi, tak heran apabila kasus serupa berulang untuk kali ketiga dan berbeda lokasi.

Tindakan aparat kepolisian memperlihatkan kepada kita bahwa mereka hanya melakukan aksi-aksi reaktif saja selama ini. Pencegahan-pencegahan yang dilakukan bersifat normatif, sesaat dan sektoral, belum ada rencana strategi untuk antisipasi jangka panjang.

Keadaan seperti ini memungkinkan adanya phobia berkegiatan di malam hari bagi seluruh lapisan masyarakat (tidak hanya kaum hawa) karena negara sudah tidak aman dan keselamatan semakin terancam. Sudah saatnya aparat kepolisian aktif bukan reaktif. Agar masyarakat dapat hidup aman dan tenteram, serta agar tak ada Livia-Livia lain di hari esok.


Eko Wardaya
Pengurus Daerah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar