Senin, 21 Mei 2012

Hari Kebangkrutan atau Kebangkitan

Dimuat di Harian Suara Karya Senin 21 Mei 2012
www.suarakarya-online.com/news.html?id=303689

Hari ini kita dipertontonkan suatu pertunjukan yang sangat mengharukan. Bukan karena kemenangan Chelsea untuk kali pertama meraih gelar juara Liga Champion, tapi berkaitan dengan realitas negeri tercinta ini, yaitu kegagalan untuk bangkit. Telebih karena para pemuda di nusantara ini tertidur lelap, baik dalam arti peran maupun fisik.

Tepat ahad 20 Mei dini hari, babak Final Liga Champion digelar. Setelah malam hari (baca: malam minggu) pemuda pemudi berlalu lalang di jalanan, kongkow-kongkow di kafe ataupun area nongkrong lainnya di pusat dan sudut kota. Mayoritas mereka melanjutkan aktifitas untuk menonton bola, begadang semalaman sampai Subuh.

Tak ada yang ingat bahwa hari ahad bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, mungkin ada yang ingat tapi tak peduli. Lebih banyak yang ingat bahwa 20 Mei bertepatan dengan Final Liga Champion. Tua, muda, baik laki-laki maupun wanita banyak yang serupa terjebak akan kealfaan terhadap momen bersejarah ini.

Tengoklah pada pagi hari, fisik mereka pun terlelap tidur seharian, mengobati perih mata kala begadang. Kian lupa bahwa hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional. Lengkaplah sudah penderitaan hati bunda pertiwi, tanah air Indonesia. Disaat realitas sosial yang tak kunjung menemukan kesejahteraan, kini diperparah oleh tabiat lemah para pemuda yang notabene berlabel agent of change.


Bukan salah Liga Champion, bukan pula melarang untuk menonton, tapi pertanyaan besar yang mesti disampaikan adalah apa yang terjadi dengan bangsa ini, apa yang terjadi dengan para pemuda Indonesia. Telah lebih dari 100 tahun (baca: 104 tahun) ditandai sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tidak jua ada kebangkitan yang terasa, khususnya pasca keruntuhan rezim Orba.

Sudah hal yang lumrah bahwa kebangkitan suatu bangsa dibawa oleh tangan-tangan pemuda. Mungkinkah mereka sudah jengah karena kondisi sosial politik yang amburadul, tak ada integritas penguasa, tak muncul Satrio Piningit yang ditunggu-tunggu. Ataukah karena mereka tak sadar apa yang mereka lihat bagai air menetes yang lambat laun akan menghancurkan batu.

Lantas, bagaimana menjawab pertanyaan pemuda kelahiran zaman pergerakan nasional, bagaimana menjawab pertanyaan founding father republik ini tentang realitas negara yang mereka perjuangkan. Pastinya, hanya sedikit yang merasa malu. Tak usah jauh-jauh kita mengulas kasus korupsi yang terbengkalai, penegakan hukum yang seadanya, aksi kekerasan yang mewabah, lihatlah dulu wajah anak negeri.

Bisakah ini dipersalahkan pada pemuda, atau penguasa, bahkan mungkin orang tua dan guru yang dianggap tak berhasil mendidik keturunan dan murid-muridnya untuk peduli masa depan bangsa. Tidak seperti itu, dikotomi tua-muda, rakyat-penguasa hanya menjadi lelucon di siang hari karena belum ada bukti kebangkitan negeri ini apabila peran itu dilimpahkan pada satu bagian rakyat. Malahan terjebak dalam kebangrutan menyeluruh di segala aspek.

Walaupun masih banyak penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional di antero negeri, terlihat semua -tanpa melupakan apresiasi tentunya- beralaskan seremoni tahunan tak berbekas.  Akan sampai kapan semua ini berlangsung. Kini sudah saatnya berbenah menjauhi mitos kebangrutan nasional membalikkan keadaan untuk menjadi kebangkitan nasional.

Menurut hemat penulis 4 tahun melebihi anggapan bahwa pahlawan muncul setiap seratus tahun sudah tak bisa ditolerir. Kolaborasi tua muda akan memberi hasil maksimal apabila bisa dilanggengkan dan terimplementasi, diantaranya:

Pertama, pemerintah bagaimanapun juga sebagai “penjaga negara” berperan besar dalam mengajak rakyatnya untuk bangkit. Momentum hari ini bisa dijadikan renungan bersama nasional demi menatap masa depan lebih baik. Fakta di lapangan, agenda besar apa yang di buat pemerintah, lagi-lagi seremoni. Ingat Jepang seketika setelah luluh lantah akibat dijatuhkannya bom oleh sekutu di dua kota besar Hiroshima dan Nagasaki, mereka tidak lemas, tapi semakin terlecut. Pemerintah mengumpulkan para pemuda untuk menanyakan dan mengajak bangkit bersama dengan komitmen dan tindakan nyata kerja keras. Lihat hasil yang diperoleh kini.

Kedua, pemuda saat ini memang kurang melek sejarah, apabila seperti itu ambillah pelajaran perjuangan Chelsea yang bangkit dari ketertinggalan skor dan membalik keadaan. Karena para pemain menyadari tujuan mereka adalah kemenangan. Tidakkah pemuda ingin merasakan kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri maupun rakyat disekitarnya. Pemuda harus menemukan ghiroh zaman, dimana saat ini membutuhkan persatuan dan kesatuan antar elemen vertikal maupun horizontal.

Ulangi kembali sejarah persatuan pemuda untuk kebangkitan nasional. Sama seperti pemerintah, pada hari ini tak ditemukan agenda nasional persatuan pemuda membentuk konsepsi masa depan Indonesia, padahal sejak 2008 Sri Sultan Hamengkubuwono X telah menantang pemuda untuk mendeklarasikan arah negeri ini seperti Sumpah Pemuda 1928 dahulu. Mari bangkit bukan bangkrut, tapi bila ingin bangkrut lanjutkan saja tidur lagi seperti kata Alm. Mbah Surip.

Cibinong, 20 Mei 2012


Eko Wardaya
Wakil Ketua Umum KAMMI Bogor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar