Hari ini
kita dipertontonkan suatu pertunjukan yang sangat mengharukan. Bukan karena
kemenangan Chelsea untuk kali pertama meraih gelar juara Liga Champion, tapi
berkaitan dengan realitas negeri tercinta ini, yaitu kegagalan untuk bangkit.
Telebih karena para pemuda di nusantara ini tertidur lelap, baik dalam arti
peran maupun fisik.
Tepat
ahad 20 Mei dini hari, babak Final Liga Champion digelar. Setelah malam hari
(baca: malam minggu) pemuda pemudi berlalu lalang di jalanan, kongkow-kongkow
di kafe ataupun area nongkrong lainnya di pusat dan sudut kota. Mayoritas
mereka melanjutkan aktifitas untuk menonton bola, begadang semalaman sampai
Subuh.
Tak ada
yang ingat bahwa hari ahad bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, mungkin
ada yang ingat tapi tak peduli. Lebih banyak yang ingat bahwa 20 Mei bertepatan
dengan Final Liga Champion. Tua, muda, baik laki-laki maupun wanita banyak yang
serupa terjebak akan kealfaan terhadap momen bersejarah ini.
Tengoklah
pada pagi hari, fisik mereka pun terlelap tidur seharian, mengobati perih mata
kala begadang. Kian lupa bahwa hari ini adalah Hari Kebangkitan Nasional.
Lengkaplah sudah penderitaan hati bunda pertiwi, tanah air Indonesia. Disaat
realitas sosial yang tak kunjung menemukan kesejahteraan, kini diperparah oleh
tabiat lemah para pemuda yang notabene berlabel agent of change.
Bukan
salah Liga Champion, bukan pula melarang untuk menonton, tapi pertanyaan besar
yang mesti disampaikan adalah apa yang terjadi dengan bangsa ini, apa yang
terjadi dengan para pemuda Indonesia. Telah lebih dari 100 tahun (baca: 104
tahun) ditandai sebagai Hari Kebangkitan Nasional, tidak jua ada kebangkitan
yang terasa, khususnya pasca keruntuhan rezim Orba.
Sudah hal
yang lumrah bahwa kebangkitan suatu bangsa dibawa oleh tangan-tangan pemuda.
Mungkinkah mereka sudah jengah karena kondisi sosial politik yang amburadul,
tak ada integritas penguasa, tak muncul Satrio Piningit yang ditunggu-tunggu.
Ataukah karena mereka tak sadar apa yang mereka lihat bagai air menetes yang
lambat laun akan menghancurkan batu.
Lantas,
bagaimana menjawab pertanyaan pemuda kelahiran zaman pergerakan nasional,
bagaimana menjawab pertanyaan founding father republik ini tentang realitas
negara yang mereka perjuangkan. Pastinya, hanya sedikit yang merasa malu. Tak
usah jauh-jauh kita mengulas kasus korupsi yang terbengkalai, penegakan hukum
yang seadanya, aksi kekerasan yang mewabah, lihatlah dulu wajah anak negeri.
Bisakah
ini dipersalahkan pada pemuda, atau penguasa, bahkan mungkin orang tua dan guru
yang dianggap tak berhasil mendidik keturunan dan murid-muridnya untuk peduli
masa depan bangsa. Tidak seperti itu, dikotomi tua-muda, rakyat-penguasa hanya
menjadi lelucon di siang hari karena belum ada bukti kebangkitan negeri ini apabila
peran itu dilimpahkan pada satu bagian kaum/golongan. Malahan terjebak dalam
kebangrutan menyeluruh di segala aspek.
Walaupun
masih banyak penyelenggaraan Hari Kebangkitan Nasional di antero negeri,
terlihat semua -tanpa melupakan apresiasi tentunya- beralaskan seremoni tahunan
tak berbekas. Akan sampai kapan semua
ini berlangsung. Sehingga tepatlah peringatan Hari Kebangkaitan Nasional kali
ini berubah menjadi peringatan Hari Kebangkrutan Nasional.
Cibinong. 20 Mei 2012
Eko Wardaya
Aktifis Pergerakan Pemuda
wah benar juga ya smakin kurang kepedulian pemuda untuk bangkit melawan kebobrokan diri, dari hal yg terkecil saja, menjaga diri untuk tetap kudus saja, baik secara pikiran maupun tindakan/perilaku. apalagi untuk integritas dan peduli terhadap bangsanya..
BalasHapusharus banyak-banyak berdoa untuk kondisi yg semakin kurang baik ini. tentunya butuh usaha dr pemuda-pemuda indonesia untuk mewujudkan bangsa yg di pulihkan. pemuda ttp semngat!!
trimaksaih A sudah mengingatkan hr kebangkitan nasional..